(https://inspicio.wordpress.com/)
Perjalanan Dimulai dari Doa
Suka Duka Seorang Musafir
Kisah Mbah Boncel bukan sekadar catatan jarak, tetapi juga catatan batin.
Ia pernah dirampok di hutan Sumatra, kehilangan tas dan celana. Para perampok mencoba membawa sepedanya, namun rantainya macet — seperti menolak berpindah tangan. “Ajaib,” katanya kemudian, “setelah mereka pergi, rantainya kembali normal.”
Ia juga pernah disandera kelompok GAM di Aceh pada Februari 2007.
Dalam kondisi genting itu, ia tetap tenang dan akhirnya bisa melarikan diri saat para penyandera lengah.
Ia selalu percaya bahwa Tuhan ikut mengayuh bersama dirinya.
“Saya tidak takut pada siapa pun, baik makhluk halus maupun begal. Kula pasrah kok, Mas.”
— kata Mbah Boncel dalam wawancara di 2007.
Tiga Kali Bertemu: Catatan dari Tim Ontelis Nusantara
Bagi Tim Ontelis Nusantara, Mbah Boncel bukan sekadar legenda media — kami pernah bertemu langsung sebanyak tiga kali.
Pertemuan pertama terjadi sekitar 2009, di jalan raya antara Banjar menuju Tasikmalaya.
Waktu itu, tim kami belum aktif dalam komunitas sepeda. Kami hanya melihat sosok tua berjaket lusuh mengayuh sepeda penuh tulisan nama-nama kota di sekujur rangkanya.
Tak ada waktu menyapa, tapi pemandangan itu membekas dalam ingatan — seolah kami baru saja melihat “peziarah” di atas dua roda.
Pertemuan kedua berlangsung Awal tahun 2012, ketika Mbah Boncel melintasi Ciamis dari arah Bandung menuju Purwokerto.
Kali ini kami sempat berhenti, berbincang, dan meminta tanda tangan di buku perjalanan.
Ia bercerita ringan tentang niatnya, dan menolak pemberian uang.
“Untuk makan saja cukup,” katanya sambil tersenyum.
Kalimat itu sederhana, tapi membekas dalam hati kami yang mendengarnya.
Pertemuan ketiga terjadi pada 2012, di ajang Parade Ontel Satria GOR Satria, Purwokerto – Banyumas.
Ia hadir sebagai tamu kehormatan.
Dengan kaos lusuh dan penampilan khasnya, ia berdiri tegak di tengah ratusan peserta ontel.
Banyak yang berebut berfoto, dan ia melayani semua dengan tawa ramah.
Saat itulah kami menyadari, bahwa yang berdiri di hadapan kami bukan sekadar onthelis senior, melainkan penyaksi sejarah hidup.
Cinta dan Rindu yang Tak Pernah Padam
Meski sering jauh dari keluarga, Mbah Boncel dikenal sangat setia kepada istrinya.
Ia pernah berkata, “Jika mau, aku bisa membawa pulang janda muda dari Merauke, tapi tidak saya lakukan. Saya mencintai istri saya.”
Tulisan “Rindu Istri” di sepedanya menjadi simbol cinta yang ia bawa ke mana pun.
Ketika rasa sepi datang, ia menyanyikan lagu Andai Ku Tahu dari Ungu, atau meminjam ponsel orang di jalan hanya untuk mendengar suara keluarganya di Bantul.
Akhir di Jalan yang Diperjuangkannya
Pada 26 September 2014, saat melakukan perjalanan ke Nusa Tenggara Barat, Mbah Boncel berpulang.
Jenazahnya diterbangkan ke Yogyakarta dan disambut oleh keluarga, rekan bikers, dan komunitas onthelis dari berbagai daerah.
Putrinya, Inge Apriliana, mengenang ayahnya dengan haru:
“Bapak memang cinta banget bersepeda. Kami sudah ikhlas.”
Mbah Boncel dimakamkan di tanah kelahirannya di Bantul — di antara orang-orang yang selama ini menjadi sumber doanya.
Warisan Semangat: Nasionalisme yang Mengayuh
Lebih dari sekadar petualangan, perjalanan Mbah Boncel adalah pernyataan cinta pada Indonesia.
Ia berkeliling bukan untuk ketenaran, tapi untuk menyapa sesama manusia dan mengajak mereka bicara tentang persaudaraan.
“Jangan lihat penampilan saya. Mari bicara Indonesia.”
— Mbah Boncel
Ketulusannya menjadi teladan bahwa nasionalisme tidak selalu lahir di podium besar, tetapi bisa tumbuh dari jalanan panjang, di atas sepeda tua, dari seorang lelaki bersahaja.
Jejak Abadi
Kini, setiap kali kami mengayuh pedal, selalu ada sosok Mbah Boncel yang ikut bergerak di dalam hati.
Ia telah mengajarkan bahwa perjalanan adalah doa, ketulusan adalah tenaga, dan pengorbanan adalah arah.
“Ketulusan selalu disertai pengorbanan. Dan pengorbanan berarti rela meninggalkan kelekatan duniawi. Saat itulah seseorang layak disebut musafir.”
— Pesan Mbah Boncel dalam catatan perjalanannya, 2007.
Selamat jalan, Mbah Boncel — musafir dari Bantul, guru ketulusan bagi setiap onthelis Indonesia.
Engkau telah mengajarkan arti sesungguhnya dari bersepeda: bukan sekadar menggerakkan roda, tetapi menggerakkan nurani bangsa.